Post Views: 366
Jakarta, Indonesia – Energi nuklir kembali menjadi fokus perhatian di tengah upaya global menyediakan sumber listrik bersih yang andal. Dalam menghadapi tantangan besar terkait keselamatan, terutama saat terjadi pemadaman listrik total, inovasi baru dari para peneliti Indonesia patut diapresiasi. Mereka telah mengembangkan sistem Passive Residual Heat Removal (PRHR) berbasis termosifon dua fase yang dapat meningkatkan keselamatan dalam lingkungan reaktor nuklir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kinerja termosifon dan menilai efisiensinya dalam ekstraksi panas. Dengan demikian, diharapkan penggunaan peralatan penukar panas dapat diminimalisasi, yang adalah salah satu tantangan besar dalam teknologi reaktor.
Sistem Termosifon Dua Fase dalam Energi Nuklir
Sistem PRHR dirancang untuk mendukung jenis reaktor Light Water Reactor (LWR) berkapasitas 300 MW termal. Reaktor ini dikenal luas karena tingkat keamanannya yang baik dan teknologi yang telah terbukti. Dengan menciptakan sistem yang bekerja tanpa memerlukan listrik eksternal, inovasi ini meningkatkan keselamatan operasional, terutama dalam kondisi darurat.
“Sistem PRHR konvensional memiliki batasan waktu operasional hanya 72 jam setelah reaktor dimatikan. Dalam situasi krisis berkepanjangan, seperti insiden Fukushima, sistem ini jauh dari cukup. Dengan inovasi termosifon dua fase ini, kami berharap bisa mengatasi kekurangan tersebut,” ungkap salah satu peneliti utama.
Sistem ini memiliki kelebihan, salah satunya adalah efisiensi perpindahan panas yang tinggi berkat posisi evaporator yang terhubung langsung dengan jalur uap. Ini memungkinkan perpindahan panas laten yang optimal, sebuah langkah penting dalam meningkatkan keselamatan dan keandalannya.
Strategi dan Uji Coba yang Dilakukan
Dengan menggunakan metode eksperimen melalui Passive System Condensation Experimental Loop (PASCONEL) dan pemodelan numerik, tim peneliti berhasil mendapatkan data yang memadai untuk pengembangan lebih lanjut. Uji coba menunjukkan bahwa satu unit termosifon dapat melepaskan panas hingga 5 kW. Untuk mencapai target pendinginan pasca-72 jam secara pasif, diperlukan sekitar 60 unit termosifon.
“Dengan menggunakan udara sebagai media pendingin setelah fase awal, sistem ini tetap dapat berfungsi secara mandiri dalam jangka waktu yang lebih panjang,” tambah peneliti tersebut. Ini menjadikan sistem lebih fleksibel dan memberikan opsi yang lebih baik dalam situasi darurat.
Langkah selanjutnya adalah meneliti lebih dalam mengenai perpindahan panas di sisi kondensor untuk meningkatkan efisiensi termal, sebuah aspek vital yang tidak bisa diabaikan dalam pengembangan teknologi nuklir yang lebih canggih.
Proyek ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara riset eksperimental dan simulasi numerik dalam menciptakan sistem keselamatan yang lebih baik. Melalui sinergi ini, diharapkan bisa dihasilkan teknologi yang tidak hanya efisien, tetapi juga lebih aman untuk pemanfaatan energi nuklir di masa depan.
Dengan demikian, arahan ke depan bagi industri energi nuklir tidak hanya berfokus pada efisiensi teknologi semata, tetapi juga harus mengedepankan aspek keselamatan dan keberlanjutan baik untuk generasi sekarang maupun mendatang.