Ketimpangan ekonomi dan krisis iklim menjadi masalah yang semakin meresahkan di seluruh dunia. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, berbagai langkah telah diambil oleh pemerintah dan pemimpin global untuk mengatasi kemiskinan, perubahan iklim, dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Meskipun demikian, tantangan yang dihadapi semakin berat.
Menurut laporan terbaru, diperkirakan bahwa dampak perubahan iklim pada sektor pertanian, kesehatan, infrastruktur, dan produktivitas dapat menyebabkan kerugian ekonomi global hingga USD 38 triliun per tahun pada tahun 2050. Negara-negara dengan pendapatan rendah bisa mengalami kerugian mencapai lebih dari USD 300 miliar setiap tahunnya akibat krisis iklim ini.
Kerugian Ekonomi Global Akibat Perubahan Iklim
Perubahan iklim tidak hanya memengaruhi lingkungan tetapi juga stabilitas ekonomi global. Data menunjukkan bahwa dampak iklim yang ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, bisa mengganggu produktivitas pertanian, yang merupakan sumber penghidupan bagi jutaan orang. Sebuah studi juga mencatat bahwa negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah yang paling sedikit bertanggung jawab atas emisi karbon. Hal ini menambah ironi ketidakadilan global yang terjadi.
Satu fakta menarik adalah kekayaan 1% orang terkaya di dunia meningkat drastis menjadi lebih dari USD 33,9 triliun sejak tahun 2015. Jumlah ini 22 kali lipat dari dana yang diperlukan untuk menghapus kemiskinan global setiap tahunnya. Namun, kelompok kaya ini juga menyumbang 16% dari total emisi karbon global, yang setara dengan emisi yang dihasilkan oleh 5 miliar orang yang merupakan kelompok termiskin di dunia. Ini menyoroti perlunya langkah kolektif dalam mengatasi isu ini.
Strategi untuk Mewujudkan Keadilan Fiskal dan Lingkungan
Melihat situasi yang memprihatinkan ini, gerakan lingkungan, seperti Greenpeace, telah mengajukan tuntutan kepada pemerintah untuk mengambil langkah nyata dalam menangani keadilan fiskal sebagai bagian dari solusi global untuk perubahan iklim. Dalam sebuah surat kepada Menteri Keuangan, dicontohkan pentingnya penerapan pajak yang lebih tinggi bagi perusahaan yang merusak lingkungan serta individu dengan kekayaan ekstrem. Pajak yang diperoleh diharapkan dapat digunakan untuk mendanai inisiatif pembangunan berkelanjutan serta penanganan krisis iklim.
Konsep Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) diusulkan sebagai cara untuk meningkatkan kapasitas fiskal negara. Hal ini dianggap penting untuk menyeimbangkan kontribusi antara mereka yang paling banyak merusak lingkungan dan masyarakat yang paling terkena dampaknya. Dengan pajak progresif, individu yang memiliki kekayaan lebih signifikan diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Berbagai survei menunjukkan bahwa masyarakat global mendukung penerapan pajak yang lebih tinggi untuk perusahaan minyak dan gas, serta bagi individu dengan kekayaan besar. Pendapatan yang terkumpul dari pajak ini dapat digunakan untuk program-program yang berfokus pada penanganan krisis iklim serta mendukung kelompok masyarakat yang terdampak. Hal ini membuka jalan bagi solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Penting bagi pemerintah untuk mengambil peran strategis dalam forum-forum internasional untuk memastikan kontribusi yang adil dari sektor swasta dan individu kaya. Diskusi mengenai Pajak Kekayaan Minimum Global di forum G20 menunjukkan adanya keseriusan dalam mencapai solusi global untuk isu ini. Dengan dukungan dari Indonesia, harapannya adalah adanya komitmen yang lebih signifikan untuk keadilan iklim di tingkat global.
Secara keseluruhan, menjadi sangat jelas bahwa kita tidak dapat mengabaikan dampak dari ketidakadilan ekonomi dan lingkungan. Upaya kolaboratif dan kebijakan inovatif diperlukan untuk membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang akan mewarisi dunia yang lebih baik.