Post Views: 273
Jakarta — Temuan mengejutkan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali memicu kegelisahan publik. Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 571.410 Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bantuan sosial (bansos) terlibat dalam praktik judi online, dengan total deposit mencapai Rp 957 miliar dan rata-rata melakukan 7,5 kali transaksi.
Fenomena ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Andreas Budi Widyanta, yang mengingatkan publik untuk tidak gegabah menyalahkan para penerima bansos. Dalam keterangannya, ia menyebut penerima bantuan justru merupakan korban dari kegagalan negara dalam memberikan perlindungan dan literasi digital yang memadai.
Analisis Penyebab Keterlibatan dalam Judi Online
Keterlibatan warga miskin dalam judi online tidak lepas dari dua persoalan besar yang sudah lama terjadi: kurangnya akurasi data penerima bansos dan rendahnya kesiapan masyarakat menghadap era digital. Data penerima bansos sering kali tidak akurat dan bahkan dipolitisasi menjelang pemilu. Sementara itu, literasi digital yang lemah membuat masyarakat rentan terjebak dalam aplikasi judi online.
Andreas menegaskan, “Penerima bansos hanyalah bagian kecil dari warga yang terjerat judi online. Ini adalah fenomena masyarakat digital yang tidak pernah disiapkan secara literasi. Negara absen dalam memberikan penyadaran.” Hal ini menunjukkan betapa tanggung jawab negara sangat penting dalam melindungi warganya dari risiko di dunia digital.
Solusi untuk Memperbaiki Keadaan
Andreas menyoroti pentingnya peran negara yang dinilai lalai, bahkan terkesan membiarkan praktik judi online terus berjalan. Dia mengkritik Kementerian Komunikasi dan Digital yang tidak menjalankan fungsi perlindungan publik secara maksimal. “Negara membiarkan bahkan memfasilitasi praktik judi online yang jelas-jelas merugikan rakyat. Seharusnya negara melindungi, bukan mengeksploitasi,” tegasnya.
Dampak judi online ini tidak berhenti pada hilangnya uang bansos semata. Ada spiral kekerasan yang dimulai dari judi online, berlanjut ke pinjaman online, yang mendorong orang untuk menjual aset hingga terjebak dalam tindak kekerasan demi melunasi utang. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang lebih komprehensif, tidak cukup hanya melalui penindakan hukum.
Andreas berpendapat bahwa negara harus memberdayakan masyarakat secara sosial dan ekonomi, agar mereka tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga mampu mandiri dan keluar dari lingkaran kemiskinan. “Jangan jadikan bansos sebagai alat menciptakan ketergantungan. Harus ada pendampingan dan pemberdayaan yang memungkinkan masyarakat bisa memiliki usaha dan tidak terjebak dalam siklus kemiskinan.”
Menurutnya, masyarakat miskin bukanlah pelaku utama yang harus disalahkan atas masalah ini. “Jangan salahkan mereka. Yang perlu dituntut pertanggungjawabannya adalah negara yang gagal melindungi,” pungkasnya. Temuan ini sekali lagi menyoroti pentingnya perbaikan sistem bantuan sosial, peningkatan literasi digital, serta komitmen negara untuk hadir dan melindungi rakyat dari jebakan-jebakan ekonomi digital yang merugikan.
Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan strategi yang lebih jelas, harapannya masyarakat dapat terhindar dari masalah yang lebih besar di masa depan. Ini adalah tanggung jawab bersama baik pemerintah maupun masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi semua.